
41th PAROKI MATER DEI – LAMPERSARI
Sekapur sirih
Tidaklah serta merta gampang untuk menelusur sejarah. Sejarah tidak saja ambigu (sekian banyak interpretasi sehingga sedikit banyak bergantung pada siapa yang berbicara), tetapi juga senantiasa memuat banyak sisi yang senantiasa terbuka untuk penafsiran.
Apalagi bagi masyarakat Indonesia membincangkan sejarah sama sepinya dengan membincangkan berbagai persoalan rumit bangsa ini. Menelusuri sejarah memang harus siap dengan resiko kesepian, kesendirian, dan tidak populer. Toh tetap saja sejarah itu mesti dibuat, betapapun kecil gaungnya. Bukan kita menghitung kepentingan satu dua tahun saja melainkan lebih merupakan inves jangka panjang.
Sejarah terbentuknya suatu paroki baru selalu saja berkelindan. Merangkai data-data yang terkumpul tidak lantas mudah. Bahkan sejarah hanya bisa dipastikan melalui selembar kertas putih. Surat Tanah misalnya. Atau Surat Keputusan. Padahal, lembaran kertas putih tersebut hanyalah kristalisasi dari dinamika hidup menggereja yang sebenarnya.
Sejarah gereja berarti mencari asal-muasal gereja (eklesiogenesis).[2] Artinya, bagaimana pada mulanya suatu paroki dapat berdiri. Apakah ada kelompok tertentu yang kuat, semacam penggerak awal yang tahan uji sehingga mampu menjadi cikal-bakal gereja paroki. Bagaimana juga kondisi sekitar sehingga memungkinkan untuk terbangunnya sebuah komunitas gerejani. Apa saja yang dilakukan oleh kelompok tersebut sehingga pada gilirannya mampu berkembang dan merekatkan hubungan satu sama lain. Hal ini mengacu pada semacam geliat dan gairah hidup menggereja. Dalam bahasa alkitab, inilah ‘cara hidup jemaat yang pertama’ (bdk. Kis 2:41-47).
Peta geografis
Paroki Mater Dei Lampersari Semarang terletak di sudut tenggara kota Semarang. Stasi yang dimiliki adalah Santo Petrus Sambiroto. Kalau wilayah di sekitar Mater Dei sendiri sudah tidak memungkinkan lagi untuk pemekaran wilayah, berbeda halnya dengan stasi Sambiroto. Perkembangan umat di stasi Sambiroto nyaris berbanding lurus dengan pemekaran kota Semarang par excellence. Hampir setiap perumahan baru yang dibangun senantiasa diikuti juga dengan beberapa KK katolik yang ada di situ. Mereka lantas ikut berproses dalam satu ikatan gereja.
Dari kondisi umum ini, sedikit banyak dapat dibayangkan bagaimana dinamika umat dalam hidup menggereja.[3] Wilayah paroki dulu termasuk di pinggiran kota Semarang (sedikit kecamatan Semarang Selatan dan banyak kecamatan Tembalang; lihat peta Semarang Kota pada lampiran). Setelah pemekaran dan perluasan kota –yaitu dimasukkannya beberapa kecamatan baru, diantaranya Kecamatan Genuk, sekarang terhitung menjadi kawasan kota.
Apakah struktur perkotaan equivalen dengan dinamika umat sendiri? Apakah bentuk fisik mencerminkan apa yang metafisik? Dengan kata lain, apakah dinamika umat di Mater Dei relatif mentog dan mandeg dibandingkan dengan Sambiroto mengingat secara fisik tidak dimungkinkan lagi pemekaran wilayah geografis? Tampaknya gambaran ini stereotipe daripada konkrit. Stasi Sambiroto memang mengklaim diri sebagai umat yang dinamis, bergairah, semangat dan maju. Banyak keluarga muda di sana. Fakta kemudaan itulah yang menjadikan data-sementara untuk menunjuk pada tingkat gerak dinamika dalam hidup menggereja. Sementara di wilayah Mater Dei sendiri sebagian besar sudah tua.
Dikatakan stereotipe karena ternyata Mudika di Mater Dei jauh lebih sering kumpul daripada di Sambiroto. Kenyataan inilah yang menjadi data-kontras terhadap gambaran sederhana bahwa apa yang fisik menentukan dan mencerminkan yang metafisik.
Bangunan gereja paroki menempati area sekitar 3500 m2 di jalan Lampersari no. 73. Per Desember tahun 2005, tercatat jumlah umat sekitar 5.680 jiwa. Jumlah KK di Mater Dei sebanyak 797 sedangkan di stasi Sambiroto mencakup 853. Total ada 1650 KK di paroki Mater Dei.[4] Dilihat dari awal, jumlah umat sebelum tahun 1968 adalah 1.100 umat. Dalam kurun waktu sekitar 38 tahun, jumlah tersebut bertambah lima kali lipat. Per tahun berarti ada kurang lebih 131 baptisan. Berarti 0.36 per hari.
Pada mulanya ‘Anak Atmodirono’
Pada mulanya, Mater Dei adalah salah satu wilayah dari paroki St. Familia Atmodirono. Dulu, kata ‘wilayah’ mengacu pada makna kata ‘lingkungan’ seperti pemahaman jamak sekarang ini. Di beberapa tempat kata ‘kring’ juga biasa dipakai. Konon, pemetaan dan pembagian tempat seperti ini merupakan peninggalan Belanda.
Mendekati tahun 1960, Gereja St. Familia Atmodirono hampir tidak dapat menampung umatnya pada misa hari Minggu. Selalu saja ada yang berada di luar gereja. Kalau hari Minggu saja demikian, apalagi hari-hari besar (Natal dan Paskah). Wilayah sebelah tenggara –yaitu Mangga, Nangka, Jeruk, Duku dan lain-lainnya (kelak adalah Paroki Mater Dei) berkembang pesat karena juga dibuka sebagai daerah hunian baru.
Dua kondisi itulah yang mencipta gagasan untuk membangun gereja baru yang nantinya harus menjadi Paroki sendiri. Sempat dipikirkan juga sekaligus pembangunan gedung sekolah baru. Inilah cara hidup menggereja yang dapat dikatakan khas Keuskupan Agung Semarang. Gereja nyaris selalu ‘ditemani’ oleh gedung sekolah yayasan katolik. Dapat dikatakan sekolah katolik merupakan saudara kembar dari gereja paroki yang baru.
Maka dicarilah beberapa lokasi yang memiliki luas tanah sekitar 2000 m2 agar dapat dibangun gereja baru di atasnya. Begitu mendesaknya kebutuhan akan tanah tersebut, sehingga Romo M. Sanders, MSF dan Romo A. Verlaan Sr., MSF berani mengatakan bahwa jika berhasil mendapatkan tanah pada saat itu juga akan langsung dibangun Gereja tersebut.
Ternyata tanah yang dicari sangatlah sukar untuk mendapatkannya. Apalagi tanah milik penduduk setempat oleh pemiliknya telah dibagi menjadi beberapa kavling dan dijual pada orang–orang yang membutuhkan. Kavling yang paling besar luasnya hanya sekitar 200 m2, sedangkan yang istimewa sekitar 300 m2. Banyak pendatang baru di Semarang khususnya di daerah sekitar ini, sehingga kebutuhan tanah dan tempat tinggal sudah meningkat.
Pada tahun 1963, ada tanah yang pada mulanya direncanakan oleh pemerintah (dulu disebut Lapangan Garot) akan dibangun Stadion Olah Raga untuk memindahkan Stadion Semarang yang sudah ada di jalan Ki Mangunsarkoro (Stadion Diponegoro). Karena beberapa hal teknis, rencana pembangunan tersebut gagal direalisasikan. Tanah yang luasnya kurang dari 2000 m2 tidak memadai sebagai stadion. Untuk mencapai luas sesuai dengan rencana, tanah milik Kotamadya ini harus ditambah luasnya. Tanah yang tersedia saat itu hanya 1/20 luasnya dari yang dibutuhkan untuk dapat dibangun stadion baru. Apalagi tanah-tanah yang ada disana kebanyakan sudah dijual untuk dijadikan rumah tinggal. Jadi untuk mewujudkan rencana itu, pemerintah harus mengeluarkan banyak dana yang banyak sekali. Padahal kondisi pemerintah pada saat itu sedang mengalami kesulitan keuangan.
Batalnya rencana pembangunan stadion di lapangan Garot ini menjadi berkah tersendiri bagi gereja. Romo dan Dewan Paroki Atmodirono lantas mengajukan permohonan kepada pemerintah tentang kebutuhan akan tanah untuk dibangun sebuah gedung gereja. Dan di sinilah letak intervensi Tuhan pada umat-Nya. Campur tangan Tuhan sungguh luar biasa. Banyak kondisi tersebut tidaklah mencukupi kalau sekedar disebut sebagai rentetan serba-kebetulan saja. Ada rencana Tuhan yang terlaksana.
Tanah yang sedianya akan dibangun stadion baru oleh pemerintah lantas diserahkan kepada Yayasan Keluarga dengan penunjukan (toewijzing). Tidak hanya itu! Juga ditawarkan dua (2) bidang tanah di sekitarnya, sehingga total luas tanah menjadi 2333 m2. Adapun rincian tanah yang dapat dipakai oleh gereja Mater Dei adalah sebagai berikut:
a. Tanah Kotamadya: Penunjukan No. P.U. 29 / 2l3 / 4 / U / 1963, tertanggal 29 September 1963, atas nama Yayasan Keluarga.
b. Pembelian dari Ny. Wahjuni Soebandi (ia menjadi Katolik), tertanggal 4 Desember 1967, dengan luas sekitar 530 M2
c. Pembelian dari Bp. Mat Soleh, tertanggal 14 Nopember 1967, luasnya mencapai sekitar 379 M2
Jadi, luas seluruhnya tanah yang diperoleh sebagai cikal bakal bangunan gereja paroki berarti 481 M2 + 1852 M2 = 2233 M2. Ketentuan luas wilayah ini didasarkan menurut G.S No. 7133 dan 7134 tahun 1980. Memang, pembangunan gedung gereja tidak bisa langsung dilaksanakan. Pasalnya ada beberapa warung yang sudah berdiri dan berizin (di sudut Barat Laut) serta rumah-rumah liar yang ‘dimiliki’ oleh kaum miskin kota (di sebelah Timur Laut). Bangunan-bangunan tersebut harus dipindahkan.[5]
Badan penerima penunjukan dari pemerintah yang pada mulanya merupakan Yayasan Keluarga kemudian berganti menjadi “Yayasan Pengurus Gereja dan Papa Miskin Room Katolik Wilayah Gereja Mater Dei di Nangka Semarang”. Yayasan PGPM didirikan oleh Uskup Agung Semarang pada saat itu yaitu Kardinal Justinus Darmojuwono, Pr, yang diwakili oleh Vikaris Jendral Rm. Carlo Carry, SJ dengan surat tertanggal 11 Oktober 1964 dan dengan Akta Notariil tertanggal 26 Januari 1965 no. 63 atas nama Notaris RM. Soeprapto.
Mengapa “Mater Dei”?
Satu hal yang sampai saat ini sulit dilacak penjelasan sejarahnya adalah nama pelindung Mater Dei. Gereja Lampersari bernaung dalam lindungan Santa Maria “Bunda Allah”. Ditelusur ke Romo de Koning, MSF ternyata tidaklah mendapat jawaban yang memuaskan. Bapak Gunarto pun, selaku pejabat pertanahan Keuskupan Agung Semarang saat itu, juga tidak dapat memberikan keterangan terperinci mengenai nama pelindung untuk paroki Lampersari.
Sangat mungkin penetapan sebagai paroki baru tertanggal Desember 1968, lantas memilih pelindung Bunda Allah yang jatuh pada tanggal 1 Januari. Menurut ensiklopedi Gereja, gelar Maria sebagai Bunda Allah sudah menjadi perbincangan sejak Konsili Konstantinopel. Theotokos.
Pembangunan Gereja Mater Dei
Kemudian Gereja Mater Dei dibangun secara sederhana oleh Romo A. de Koning, MSF yang waktu itu menjabat sebagai Pastor Kepala di Paroki St. Familia Atmodirono pada tahun 1967, sedangkan pembangunannya dilimpahkan kepada Bp. Tan Siok Kwie yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur perusahaan Aneka Jasa dan dikerjakan oleh unit perusahaan bernama Baja Karya. Pada waktu itu pihak Baja Karya mendapatkan proyek dari perusahaan beras Sisamyang yang berlokasi daerah sekitar Buyaran untuk membangun sebuah gudang beras berukuran 15 x 30 m. Akan tetapi entah karena apa, proyek tersebut urung dikerjakan. Material berupa konstruksi besi dll yang sedianya akan digunakan untuk membangun gudang beras, kemudian digunakan untuk pembangunan Gereja Mater Dei. Gambar rencana dikerjakan oleh Bapak Ag. Suroso dan dikerjakan oleh Bp. Ant. Hadi Murwanto.
Biaya yang diperoleh untuk pembangunan ini, antara lain dari pihak Keuskupan Agung Semarang dan ditambah dari iuran setiap kepala keluarga yang tersebar di beberapa lingkungan pada saat itu. Iuran yang ditetapkan untuk tiap kepala keluarga sebesar Rp. 60,-. Dan bagi umat yang keberatan, biaya tersebut bisa diangsur. Selain itu juga terus menerus dilakukan sosialisasi kepada seluruh umat untuk ikut berperan serta dalam pembangunan sehingga timbul rasa memiliki gereja baru ini nantinya.
Pembangunan yang memakan waktu sekitar 3 – 4 bulan tersebut akhirnya selesai juga. Gedung Gereja yang berkerangka besi dengan dinding tembok dan beratapkan seng tersebut diberkati oleh Uskup Agung Semarang yang mulia Bp. Kardinal Justinus Darmojuwono, Pr. pada tanggal 20 Desember 1968. Pemberkatan itu disertai dengan hiburan tarian anak – anak, diantaranya tari batik yang dibawakan oleh Christina Sri Purwati ( putri dari Bp. Surat ).
Gereja Mater Dei saat itu masih merupakan bagian dari Paroki St. Familia Atmodirono. Kemudian setelah Romo PC Judodihardjo, MSF diangkat menjadi Pastor Kepala di Lampersari, beliau menghendaki agar Paroki Mater Dei terpisah dari Paroki St. Familia Atmodirono.
Pembangunan Pastoran
Sebagai rumah Pastoran, mula – mula disewa kontrak rumah dengan Bapak Soejatno yang terletak di jalan Lampersari no. 46 selama 3 tahun terhitung sejak 24 Maret 1969 sampai dengan 23 Maret 1972. Baru 2 tahun kemudian mulai didirikan rumah pastoran. Tepat pada tanggal 1 Mei 1971, dilaksanakan peletakan batu pertama oleh Romo H. V. Voorts, SJ selaku Sekretaris Ekonom Keuskupan Agung Semarang yang dihadiri oleh Romo Provincial MSF yaitu Romo A. de Koning, MSF dan Romo Ekonom MSF yaitu Romo Sanders, Romo A. Verlaan Jr., MSF ( selaku Pastor Kepala Mater Dei Lampersari pengganti Romo PC Judodihardjo, MSF ), beserta wakil umat dan wakil kepala desa lamperkidul. Pembangunan ini diserahkan kepada Bp. P. Soenardjo. Bangunan Pastoran ini selesai dibangun dan diserahkan pada tanggal 3 Agustus 1971.
Kemudian bangunan pastoran ini sempat diperbaiki sebanyak 2 kali ( pada saat Romo Th. Widagdo menjabat ), dan akhirnya dirobohkan sama sekali karena kondisinya sudah sangat parah. Hal ini dikarenakan pada waktu pembangunannya tidak diadakan pemeriksaan kualitas tanah. Selama pembangunan pastoran yang baru dikerjakan pada tahun 1980an, maka sejak 1 September 1980 dengan Pastor Kepala Romo J. Harsasoesanto, Pr. rumah pastoran dialihkan ke jalan Lampersari no. 73 dengan sewa kontrak dari Ibu Dulkahar selama 1 tahun.
Kondisi Umat Di Awal Gereja Mater Dei Berdiri
Dahulu memang dengan adanya Paroki Mater Dei – Lampersari yang baru ini sangatlah sederhana dan kecil. Jumlah umat pada saat itu hanya sekitar 1000 – 1300 orang. Belum ada hiasan atau dekorasi untuk misa pada waktu itu. Yang ada hanya beberapa tempat duduk berupa kursi kayu panjang ( dingklik ) untuk tempat duduk umat. Gambar Jalan Salib juga belum ada. Sehingga beberapa umat seperti Bpk. Gunarto menyediakan gambar, piguranya dari Bpk. Surat, kacanya dari Bpk. Hartono. Sedangkan perangkat sound system juga masih belum ada.
Dewan Paroki yang ada pada saat itu juga masih sederhana bentuk organisasinya, yaitu :
1. Ketua : Pastor Kepala
2. Koordinator 1 dan 2
3. Penulis / Sekretaris
4. Bendahara
5. Sie Sosial
6. Sie Pembinaan Wilayah
7. Sie Liturgie
8. Sie Kematian
9. Sie Mass Media
10. Sub Seksi – Seksi
11. Panitia – Panitia Ad Hoc
Paguyuban yang saat juga sudah mulai berjalan antara lain kepemudaan, Wanita Katolik, ME (Marriage Encounter) dan Legio Maria.
Lingkungan / Kring yang ada waktu itu sekitar 7, yaitu :
1. Lingkungan Nangka : Bpk. Gunarto
2. Lingkungan Mangga : Bpk. Hartono ( Portuna )
3. Lingkungan Cinde : Bpk. Y. Soerat
4. Lingkungan Durian : Bpk. A. Sudarsono
5. Lingkungan Lamper Tengah : Bpk. Basuki
6. Lingkungan Peterongan : Bpk. Thomas Gleko
7. Lingkungan Jeruk : Bpk. Paiman
Perluasan Gereja dan Area Pendukungnya
Sejak tahun – tahun pertama Romo Widagdo menjabat sebagai Romo Paroki, bangunan gereja sudah harus diperluas, hal tersebut dilaksanakan atas meningkatnya jumlah umat yang pada tahun 1972 hanya berjumlah 1200 jiwa menjadi 2000 jiwa lebih pada tahun 1983. Adapun pembangunan perbaikan maupun tambahan yang terus dilaksanakan adalah :
1. Pembangunan gedung Gereja : Rm. A. de Koning, MSF
2. Pembangunan Pastoran : Rm. A. Verlaan Jr., MSF
3. Perluasan memperpanjang bangunan gereja (Panti Imam dan tempat Koor): Rm. Th. Widagdo, MSF
4. Perbaikan Pastoran : Rm. Th. Widagdo, MSF
5. Pembangunan kembali Pastoran : Rm. Harsasusanto, Pr.
6. Memperindah Panti Imam : Rm. H. Djajapoetranta, MSF
7. Mengganti Plafon seluruh bangunan gereja : idem
8. Pemasangan keramik pada dinding gereja : idem
9. Pemasangan kaca pada lubang udara / sinar di atas : idem
10. Pemasangan glass in lood di Panti Imam : idem
11. Keramik lantai : idem
12. Tambahan tenaga listrik : idem
13. Paving seluruh halaman : idem
14. Pembangunan rumah koster : idem
15. Pembangunan / ijin poliklinik : idem ( 1989 )
16. Pagar muka : idem
17. Pembangunan Kapel Stasi Sambiroto di atas tanah pemberian keluarga Sik Hoe : idem (atas ijin Romo Sunaryo tahun 1993–1994 ).
Serba – Serbi Paroki Mater Dei
Kolese Xaverius Muntilan
Dalam suatu kutipan buku “SOEGIJA, Si Anak Betlehem van Java” karangan Romo G. Budi Subanar, SJ di halaman 30 berisi antara lain : Kolese Xaverius Muntilan yang didirikan oleh Romo Van Lith sungguh – sungguh merupakan sekolah rintisan. Guru dan murid awalnya adalah mantan siswa dari sekolah yang ada di Lampersari, Semarang. Bahkan kayu – kayu dan bahan bangunan lain dari Sekolah Lampersari pun diangkut ke Muntilan dan digunakan untuk menambah gedung baru kompleks persekolahan di Muntilan.
SD Andreas:
Tempat Mendidik dan Melayani
Pada than 1949 Bapak Andreas Sudarsono menjadi kepala sekolah SD Kobong .. Kemudian menjadi SD Kura lalu menjadi SD Andreas Th. 1957. Pada waktu itu ada di Pandean Lamper (Brigjen Katamso No. 49) dan buka sore hari. SD Antonius dibuka untuk putri dan Tarsisius untuk Putra. Semuanya itu ada di bawah naungan Yayasan Kanisius.
Pada tahun 1957 berdiri sekolah SD Keluarga di wilayah tandang, yang juga dibawah naungan Yayasan Kanisius. SD Keluarga inilah yang menjadi cikal bakal perkembangan umat Gereja Mater Dei. Meskipun pada waktu itu gedung SD Keluarga masih harus menyewa dari rumah bapak Jaiman yang non Katolik, hal ini tidak menjadi halangan bagi Bapak Darsono beserta kawan - kawannya yang pada waktu sebagai salah satu hamba Kristus yang beragama Katolik untuk mengembangkan SD tersebut, sebagai sekolah Katolik pertama yang ada di lingkungan Stasi Paroki Atmodirono di daerah Semarang bagian timur.
Melalui SD inilah Tuhan Yesus Kristus berkarya atas diri umatnya dengan perantara tangan-tangan hamba-Nya, terutama Bapak Darsono sebagai salah satu tokoh Katolik yang juga berprofesi sebagai guru, sekaligus sebagai pelayan Tuhan. Karena melalui karya beliau beserta ternan - ternan, rnulailah muncul babtisan - babtisan baru yang berasal dari murid - murid SD tempat beliau mengajar. Bukan karena suatu paksaan, melainkan karena suatu tindakan yang lebih nyata dari Beliau sebagai umat Katolik, sehingga dengan keikhlasan hati merekalah untuk mau mengimani Yesus Kristus mereka dibabtis dalam nama Bapa, Putra dan Kudus. Babtisan - batisan baru tersebut langsung dilakukan oleh imam-imam yang berkarya di Paroki Atmodirono.
Berkat rahmat Tuhan Yesus, Bapak Darsono yang juga sebagai tokoh masyarakat pada waktu itu, mendapat kepercayaan dari Yayasan Chi Lam Cai yang memiliki hak milik atas tanah yang berada di jalan Tentara Pelajar (Mrican) pada saat ini dan juga sebagai tanah yang nantinya akan berdiri SD Andreas sekarang ini; untuk mengurus tanah tersebut. Maka atas kepercayaan yang diberikan untuk mengurus tanah tersebut, Bapak Darsono beserta kawan - kawan dan juga atas prakarsa Romo A. Verlaan Jr, MSF, pada tahun 1960 didirikanlah SD Andreas sebagai sekolah Katolik yang langsung dibawah naungan Yayasan Andreas itu sendiri. Sedangkan SD Andreas yang semula berada di Jalan Brigjen Katamso berpindah, dan hingga saat ini tempat tersebut menjadi sekolah Katolik Tarsisius. Yayasan Andreas secara resmi berdiri tahun 1970 dan pada saat itu juga yayasan Andreas mendirikan SMP Agustinus. Kemudian perkembangan lebih lanjut hingga tahun 1988 resmimenjadi Yayasan Andreas, dan ketika hak konvensi 75 Yayasan Chi Lam Cai atas tanah tersebut habis, maka atas rahmat Tuhan juga, Bapak Darsono dengan atas nama Yayasan Andreas mencoba untuk mengurus hak kepemilikan clan hak atas guna bangunan (HGB) tanah tersebut menjadi milik Yayasan Andreas, dan ternyata usaha tersebut tidaklah sulit, karena dalam waktu yang singkat (+ 1 minggu) hak tersebut dapat keluar dan diberikan kepada Yayasan Andreas oleh pemerintah.
Maka ada 2 (dua) sekolah Katolik yang berdiri di wilayah tempat di mana Paroki Lampersari nantinya berdiri. Dengan pertimbangan atas adanya dua sekolah Katolik tersebut, dan juga atas perkembangan umat Katolik disekitar wilayah tersebut maka Paroki Atmodirono membentuk Stasi Mater Dei.
Perkembangan lebih lanjut SD Andreas, yang juga menjadi pendukung dari berdirinya Paroki Lampersari Gereja Mater Dei hingga saat ini, tidak terlepas dengan karya - karya, maupun kegiatan-kegiatan gereja yang juga diadakan di bangunan SD tersebut. Karena ketika perkembangan Gereja Mater Dei belum sepesat ini, SD Andreas juga digunakan oleh Paroki Mater Dei sebagai tempat pelajaran sekolah Minggu, baik itu dari pelajaran babtis, komuni pertama, dan krisma. SD Andreas pernah dijadwal untuk misa ekaristi 1 bulan sekali di Gereja Mater Dei. Selain SD Andreas menjadi salah satu tempat pendukung dalam perayaan Ekaristi, SD Andreas pernah dipilih sebagai tempat perarakan perayaan Ekaristi Minggu Palma dari SD Andreas menuju ke Gereja Mater Dei.
Pembangunan Gereja Mater Dei Sekarang
Dengan berjalannya waktu dan makin bertambahnya jumlah umat Paroki Mater Dei, mengakibatkan daya tampung gedung Gereja Mater Dei yang sekarang ini sudah tidak memadai lagi. Dan umat banyak yang menghadiri misa di luar gedung gereja yang tidak beratap. Disamping itu gedung gereja yang lama sudah tidak memenuhi syarat lagi dari beberapa segi, sehingga dipikirkanlah suatu tindakan untuk melakukan pembangunan baru sebuah gedung gereja Mater Dei.
Faktor – faktor yang tidak memenuhi syarat ini antara lain :
1. Dari segi arsitektur :
a. Tampak dan bentuk yang dipaksakan dari bekas konstruksi sebuah gedung beras, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai sebuah rumah ibadat yang baik.
b. Tata ruang yang jelek, dengan fasilitas untuk gereja yang tidak lengkap dan bertebaran (tidak menyatu).
c. Atap yang terbuat dari seng gelombang yang sangat berisik apabila turun hujan.
2. Dari segi struktur :
a. Penutup atap dari seng yang sudah sangat berkarat dan bocor pada waktu hujan.
b. Langit-langit (plafond) yang sudah tidak rata lagi karena konstruksi kayu penggantungnya yang sudah rusak.
c. Ada beberapa tiang baja penyangga yang sudah miring.
d. Terdapat dinding tembok dengan keretakan miring yang menunjukkan terjadinya penurunan bangunan yang tidak merata.
e. Sound system di dalam gereja yang sudah kurang baik.
3. Dari segi tata letak :
Letak gedung gereja dan bagian–bagiannya yang sekarang ini sangat tidak efisien, sehingga banyak bidang–bidang tanah yang tidak bermanfaat sama sekali. Hal ini mengakibatkan areal parkir menjadi sempit disamping tidak adanya tempat untuk sebuah gedung pertemuan paroki yang memadai. Pintuk masuk ke halaman gerejapun hanya satu dan letaknya tidak strategis, sehingga rawan terjadi kemacetan baik itu di halaman gereja sendiri maupun di jalan lampersari setiap saat selesai misa.
4. Dari segi lain
a. Karena semua sebab di atas, banyak umat paroki Mater Dei yang hampir tidak pernah menghadiri misa di gerejanya sendiri, melainkan di paroki – paroki lain.
b. Karena kurangnya fasilitas gedung, maka aktivitas umat paroki menjadi terhambat yang menyebabkan kegiatannya menjadi berkurang.
Oleh sebab itu dibentuklah susunan Kepanitiaan Pembangunan Gereja Mater Dei, yang mana kepanitiaan ini terbagi menjadi 2 periode. Periode pertama telah menyelesaikan gambar rencana gedung Gereja, pasturan, poliklinik dan ruang serba guna. Menyelesaikan perhitungan konstruksi bangunan Gereja, perijinan pembangunan dan sebagian konstruksi pembangunan pondasi gedung Gereja juga telah diselesaikan di periode ini. Direncanakan pula untuk memakai kerangka bangunan dari baja dan kolom-kolom beton dengan penutup atap dari genteng metal yang diperhitungkan jauh lebih ringan daripada genteng-genteng biasa. Periode kedua melanjutkan pelaksanaan pembangunan gedung Gereja serta menghimpun dana yang dibutuhkan selama proses pembangunan berlangsung. Dan pada akhirnya, kepanitiaan pada periode ke-2 ini diharapkan dapat menyelesaikan seluruh pekerjaan pembangunan Gereja.
Romo-romo yang Pernah Berkarya di Paroki Mater Dei :
1. Romo A. de Koning, MSF (pada waktu Mater Dei masih menjadi bagian dari Paroki Santa Familia di Atmodirono).
2. Romo P.C. Yudodihardjo, MSF : tahun 1969 – 21 Januari 1971
3. Romo Hadi Wiyono, Pr : tahun 1968 – 1968
4. Romo A. Verlaan Jr., MSF : 21 Januari 1971 – 21 Maret 1974
5. Romo Th. Widagdo, MSF : 21 Maret 1974 – 1 April 1980
6. Romo H. Djajapoetranta, MSF : 1 April 1980 – 1 Agustus 1980
7. Romo Yaso, MSF : tahun 1980
8. Romo J. Harsasusanta, Pr : 1 Agustus 1980 – 1 Agustus 1982
9. Romo H. Djajapoetranta, MSF : 1 Januari 1983 – 15 September 1993
10. Romo A. Hantoro, Pr : 15 September 1993 – 1 Agustus 1998
11. Romo G.A. Notobudyo, Pr : 15 September 1993 – 1 September 1995
12. Romo P. Irawan Setiaji, Pr : 1 September 1995 – 1997
13. Romo Y.S. Sunu Siswoyo, Pr : 1 Agustus 1998 – 15 Januari 2001
14. Romo Ag. Ariawan, Pr : 15 Januari 2001 – 1 Agustus 2006.
15. Romo Ant. Suparyono, Pr :
16. Romo G. Tulus Sudarto, Pr : per 24 Juli 2006 -- .........
17. Romo Ig. Suharyono, Pr : per 15 Januari 2008
Narasumber :
- Romo H. Djajapoetranta, MSF
- Bpk. Maryoto (Lingkungan Mangga)
- Bpk. Gunarto (pegawai Keuskupan bagian pertanahan)
- Bpk. Nardi (tinggal di Nangka tahun 1967)
- Bpk. Surat
- Bpk. Kartono
- Bpk. Wartomo
- Bpk. Soesanto
- Panitia Pembangunan Gereja Mater Dei
[1] Dalam bahasa alkitabiah, momen berahmat menunjuk kata khairos yang berarti saat-rahmat. Kata khairos dipakai untuk mengacu pada saat intervensi Allah dalam hidup manusia pada untaian waktu yang dijalaninya. Kata ini berbeda dengan khronos yang berarti untaian waktu saja (dari kata khronos kita mengenal kata kronologi, yaitu urutan kejadian satu dengan yang lain yang mengalir secara tetap dan teratur). Tidak setiap saat manusia dapat merasakan campur tangan kasih Allah. Hanya saat-saat tertentu sajalah uluran tangan Allah itu dapat dirasakan. Saat-saat rahmat itulah yang disebut khronos.
[2] Kata ‘eklesiogenesis’ berasal dari kata eklesio yang berarti gereja (bahasa latin adalah ecclesia) dan genesis yang berarti kelahiran atau bentukan. Pembicaraan tentang eklesiogenesis mengacu sekitar beberapa kelompok pertama ataupun komunitas paling awal dari suatu gereja. Istilah eklesiogenesis ini sejajar dengan kata etnogenesis kalau bahan kajiannya adalah suku ataupun kelompok minoritas awal di suatu tempat.
[3] Mulai 1 Januari 2007, jumlah lingkungan di wilayah Mater Dei adalah 15; sementara stasi Sambiroto menjadi 18 lingkungan. Berarti ada tiga lingkungan baru yang merupakan hasil pemekaran.
[4] Masing-masing jumlah KK di Mater Dei adalah sebagai berikut: Lamper Tengah 1 (95 KK), Lamper Tengah 2 (65), Cinde (54), Jomblang (49), Mangga (46), Blimbing-Peterongan (36), Jeruk-Rambutan (30), Manggis (65), Lamper Krajan (25), Durian (45), Nangka (56), Getas (55), Kinibalu (68), Rogojembangan (45), dan Karanggawang (53). Sementara di stasi Sambiroto sebagai berikut: lingkungan Sambiroto (63), Mangunharjo (127), Bukit Kencana Jaya 1 (75), Bukit Kencana Jaya 2 (30), Kinijaya (51), Ketileng 1 (46), Ketileng 2 (59), Sinar Waluyo 1 (80), Sinar Waluyo 2 (36), Wanamukti (49), Tulus Harapan (27), Klipang 1 (52), Klipang 2 (37), Klipang 3 (59), dan Sendang Mulyo (52).
[5] Hingga sekarang, kebijakan perkotaan (melalui perangkat kelurahan Lamper Kidul) menuntut agar di depan gereja tidak dibangun jembatan kecuali untuk jalan masuk ke areal gereja. Sungai yang berada di depan gereja tidak boleh ditutupi supaya tidak memberi kesempatan untuk pendirian bangunan dan dijadikan tempat berdagang (Pedagang Kaki Lima).
Apalagi bagi masyarakat Indonesia membincangkan sejarah sama sepinya dengan membincangkan berbagai persoalan rumit bangsa ini. Menelusuri sejarah memang harus siap dengan resiko kesepian, kesendirian, dan tidak populer. Toh tetap saja sejarah itu mesti dibuat, betapapun kecil gaungnya. Bukan kita menghitung kepentingan satu dua tahun saja melainkan lebih merupakan inves jangka panjang.
Sejarah terbentuknya suatu paroki baru selalu saja berkelindan. Merangkai data-data yang terkumpul tidak lantas mudah. Bahkan sejarah hanya bisa dipastikan melalui selembar kertas putih. Surat Tanah misalnya. Atau Surat Keputusan. Padahal, lembaran kertas putih tersebut hanyalah kristalisasi dari dinamika hidup menggereja yang sebenarnya.
Sejarah gereja berarti mencari asal-muasal gereja (eklesiogenesis).[2] Artinya, bagaimana pada mulanya suatu paroki dapat berdiri. Apakah ada kelompok tertentu yang kuat, semacam penggerak awal yang tahan uji sehingga mampu menjadi cikal-bakal gereja paroki. Bagaimana juga kondisi sekitar sehingga memungkinkan untuk terbangunnya sebuah komunitas gerejani. Apa saja yang dilakukan oleh kelompok tersebut sehingga pada gilirannya mampu berkembang dan merekatkan hubungan satu sama lain. Hal ini mengacu pada semacam geliat dan gairah hidup menggereja. Dalam bahasa alkitab, inilah ‘cara hidup jemaat yang pertama’ (bdk. Kis 2:41-47).
Peta geografis
Paroki Mater Dei Lampersari Semarang terletak di sudut tenggara kota Semarang. Stasi yang dimiliki adalah Santo Petrus Sambiroto. Kalau wilayah di sekitar Mater Dei sendiri sudah tidak memungkinkan lagi untuk pemekaran wilayah, berbeda halnya dengan stasi Sambiroto. Perkembangan umat di stasi Sambiroto nyaris berbanding lurus dengan pemekaran kota Semarang par excellence. Hampir setiap perumahan baru yang dibangun senantiasa diikuti juga dengan beberapa KK katolik yang ada di situ. Mereka lantas ikut berproses dalam satu ikatan gereja.
Dari kondisi umum ini, sedikit banyak dapat dibayangkan bagaimana dinamika umat dalam hidup menggereja.[3] Wilayah paroki dulu termasuk di pinggiran kota Semarang (sedikit kecamatan Semarang Selatan dan banyak kecamatan Tembalang; lihat peta Semarang Kota pada lampiran). Setelah pemekaran dan perluasan kota –yaitu dimasukkannya beberapa kecamatan baru, diantaranya Kecamatan Genuk, sekarang terhitung menjadi kawasan kota.
Apakah struktur perkotaan equivalen dengan dinamika umat sendiri? Apakah bentuk fisik mencerminkan apa yang metafisik? Dengan kata lain, apakah dinamika umat di Mater Dei relatif mentog dan mandeg dibandingkan dengan Sambiroto mengingat secara fisik tidak dimungkinkan lagi pemekaran wilayah geografis? Tampaknya gambaran ini stereotipe daripada konkrit. Stasi Sambiroto memang mengklaim diri sebagai umat yang dinamis, bergairah, semangat dan maju. Banyak keluarga muda di sana. Fakta kemudaan itulah yang menjadikan data-sementara untuk menunjuk pada tingkat gerak dinamika dalam hidup menggereja. Sementara di wilayah Mater Dei sendiri sebagian besar sudah tua.
Dikatakan stereotipe karena ternyata Mudika di Mater Dei jauh lebih sering kumpul daripada di Sambiroto. Kenyataan inilah yang menjadi data-kontras terhadap gambaran sederhana bahwa apa yang fisik menentukan dan mencerminkan yang metafisik.
Bangunan gereja paroki menempati area sekitar 3500 m2 di jalan Lampersari no. 73. Per Desember tahun 2005, tercatat jumlah umat sekitar 5.680 jiwa. Jumlah KK di Mater Dei sebanyak 797 sedangkan di stasi Sambiroto mencakup 853. Total ada 1650 KK di paroki Mater Dei.[4] Dilihat dari awal, jumlah umat sebelum tahun 1968 adalah 1.100 umat. Dalam kurun waktu sekitar 38 tahun, jumlah tersebut bertambah lima kali lipat. Per tahun berarti ada kurang lebih 131 baptisan. Berarti 0.36 per hari.
Pada mulanya ‘Anak Atmodirono’
Pada mulanya, Mater Dei adalah salah satu wilayah dari paroki St. Familia Atmodirono. Dulu, kata ‘wilayah’ mengacu pada makna kata ‘lingkungan’ seperti pemahaman jamak sekarang ini. Di beberapa tempat kata ‘kring’ juga biasa dipakai. Konon, pemetaan dan pembagian tempat seperti ini merupakan peninggalan Belanda.
Mendekati tahun 1960, Gereja St. Familia Atmodirono hampir tidak dapat menampung umatnya pada misa hari Minggu. Selalu saja ada yang berada di luar gereja. Kalau hari Minggu saja demikian, apalagi hari-hari besar (Natal dan Paskah). Wilayah sebelah tenggara –yaitu Mangga, Nangka, Jeruk, Duku dan lain-lainnya (kelak adalah Paroki Mater Dei) berkembang pesat karena juga dibuka sebagai daerah hunian baru.
Dua kondisi itulah yang mencipta gagasan untuk membangun gereja baru yang nantinya harus menjadi Paroki sendiri. Sempat dipikirkan juga sekaligus pembangunan gedung sekolah baru. Inilah cara hidup menggereja yang dapat dikatakan khas Keuskupan Agung Semarang. Gereja nyaris selalu ‘ditemani’ oleh gedung sekolah yayasan katolik. Dapat dikatakan sekolah katolik merupakan saudara kembar dari gereja paroki yang baru.
Maka dicarilah beberapa lokasi yang memiliki luas tanah sekitar 2000 m2 agar dapat dibangun gereja baru di atasnya. Begitu mendesaknya kebutuhan akan tanah tersebut, sehingga Romo M. Sanders, MSF dan Romo A. Verlaan Sr., MSF berani mengatakan bahwa jika berhasil mendapatkan tanah pada saat itu juga akan langsung dibangun Gereja tersebut.
Ternyata tanah yang dicari sangatlah sukar untuk mendapatkannya. Apalagi tanah milik penduduk setempat oleh pemiliknya telah dibagi menjadi beberapa kavling dan dijual pada orang–orang yang membutuhkan. Kavling yang paling besar luasnya hanya sekitar 200 m2, sedangkan yang istimewa sekitar 300 m2. Banyak pendatang baru di Semarang khususnya di daerah sekitar ini, sehingga kebutuhan tanah dan tempat tinggal sudah meningkat.
Pada tahun 1963, ada tanah yang pada mulanya direncanakan oleh pemerintah (dulu disebut Lapangan Garot) akan dibangun Stadion Olah Raga untuk memindahkan Stadion Semarang yang sudah ada di jalan Ki Mangunsarkoro (Stadion Diponegoro). Karena beberapa hal teknis, rencana pembangunan tersebut gagal direalisasikan. Tanah yang luasnya kurang dari 2000 m2 tidak memadai sebagai stadion. Untuk mencapai luas sesuai dengan rencana, tanah milik Kotamadya ini harus ditambah luasnya. Tanah yang tersedia saat itu hanya 1/20 luasnya dari yang dibutuhkan untuk dapat dibangun stadion baru. Apalagi tanah-tanah yang ada disana kebanyakan sudah dijual untuk dijadikan rumah tinggal. Jadi untuk mewujudkan rencana itu, pemerintah harus mengeluarkan banyak dana yang banyak sekali. Padahal kondisi pemerintah pada saat itu sedang mengalami kesulitan keuangan.
Batalnya rencana pembangunan stadion di lapangan Garot ini menjadi berkah tersendiri bagi gereja. Romo dan Dewan Paroki Atmodirono lantas mengajukan permohonan kepada pemerintah tentang kebutuhan akan tanah untuk dibangun sebuah gedung gereja. Dan di sinilah letak intervensi Tuhan pada umat-Nya. Campur tangan Tuhan sungguh luar biasa. Banyak kondisi tersebut tidaklah mencukupi kalau sekedar disebut sebagai rentetan serba-kebetulan saja. Ada rencana Tuhan yang terlaksana.
Tanah yang sedianya akan dibangun stadion baru oleh pemerintah lantas diserahkan kepada Yayasan Keluarga dengan penunjukan (toewijzing). Tidak hanya itu! Juga ditawarkan dua (2) bidang tanah di sekitarnya, sehingga total luas tanah menjadi 2333 m2. Adapun rincian tanah yang dapat dipakai oleh gereja Mater Dei adalah sebagai berikut:
a. Tanah Kotamadya: Penunjukan No. P.U. 29 / 2l3 / 4 / U / 1963, tertanggal 29 September 1963, atas nama Yayasan Keluarga.
b. Pembelian dari Ny. Wahjuni Soebandi (ia menjadi Katolik), tertanggal 4 Desember 1967, dengan luas sekitar 530 M2
c. Pembelian dari Bp. Mat Soleh, tertanggal 14 Nopember 1967, luasnya mencapai sekitar 379 M2
Jadi, luas seluruhnya tanah yang diperoleh sebagai cikal bakal bangunan gereja paroki berarti 481 M2 + 1852 M2 = 2233 M2. Ketentuan luas wilayah ini didasarkan menurut G.S No. 7133 dan 7134 tahun 1980. Memang, pembangunan gedung gereja tidak bisa langsung dilaksanakan. Pasalnya ada beberapa warung yang sudah berdiri dan berizin (di sudut Barat Laut) serta rumah-rumah liar yang ‘dimiliki’ oleh kaum miskin kota (di sebelah Timur Laut). Bangunan-bangunan tersebut harus dipindahkan.[5]
Badan penerima penunjukan dari pemerintah yang pada mulanya merupakan Yayasan Keluarga kemudian berganti menjadi “Yayasan Pengurus Gereja dan Papa Miskin Room Katolik Wilayah Gereja Mater Dei di Nangka Semarang”. Yayasan PGPM didirikan oleh Uskup Agung Semarang pada saat itu yaitu Kardinal Justinus Darmojuwono, Pr, yang diwakili oleh Vikaris Jendral Rm. Carlo Carry, SJ dengan surat tertanggal 11 Oktober 1964 dan dengan Akta Notariil tertanggal 26 Januari 1965 no. 63 atas nama Notaris RM. Soeprapto.
Mengapa “Mater Dei”?
Satu hal yang sampai saat ini sulit dilacak penjelasan sejarahnya adalah nama pelindung Mater Dei. Gereja Lampersari bernaung dalam lindungan Santa Maria “Bunda Allah”. Ditelusur ke Romo de Koning, MSF ternyata tidaklah mendapat jawaban yang memuaskan. Bapak Gunarto pun, selaku pejabat pertanahan Keuskupan Agung Semarang saat itu, juga tidak dapat memberikan keterangan terperinci mengenai nama pelindung untuk paroki Lampersari.
Sangat mungkin penetapan sebagai paroki baru tertanggal Desember 1968, lantas memilih pelindung Bunda Allah yang jatuh pada tanggal 1 Januari. Menurut ensiklopedi Gereja, gelar Maria sebagai Bunda Allah sudah menjadi perbincangan sejak Konsili Konstantinopel. Theotokos.
Pembangunan Gereja Mater Dei
Kemudian Gereja Mater Dei dibangun secara sederhana oleh Romo A. de Koning, MSF yang waktu itu menjabat sebagai Pastor Kepala di Paroki St. Familia Atmodirono pada tahun 1967, sedangkan pembangunannya dilimpahkan kepada Bp. Tan Siok Kwie yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur perusahaan Aneka Jasa dan dikerjakan oleh unit perusahaan bernama Baja Karya. Pada waktu itu pihak Baja Karya mendapatkan proyek dari perusahaan beras Sisamyang yang berlokasi daerah sekitar Buyaran untuk membangun sebuah gudang beras berukuran 15 x 30 m. Akan tetapi entah karena apa, proyek tersebut urung dikerjakan. Material berupa konstruksi besi dll yang sedianya akan digunakan untuk membangun gudang beras, kemudian digunakan untuk pembangunan Gereja Mater Dei. Gambar rencana dikerjakan oleh Bapak Ag. Suroso dan dikerjakan oleh Bp. Ant. Hadi Murwanto.
Biaya yang diperoleh untuk pembangunan ini, antara lain dari pihak Keuskupan Agung Semarang dan ditambah dari iuran setiap kepala keluarga yang tersebar di beberapa lingkungan pada saat itu. Iuran yang ditetapkan untuk tiap kepala keluarga sebesar Rp. 60,-. Dan bagi umat yang keberatan, biaya tersebut bisa diangsur. Selain itu juga terus menerus dilakukan sosialisasi kepada seluruh umat untuk ikut berperan serta dalam pembangunan sehingga timbul rasa memiliki gereja baru ini nantinya.
Pembangunan yang memakan waktu sekitar 3 – 4 bulan tersebut akhirnya selesai juga. Gedung Gereja yang berkerangka besi dengan dinding tembok dan beratapkan seng tersebut diberkati oleh Uskup Agung Semarang yang mulia Bp. Kardinal Justinus Darmojuwono, Pr. pada tanggal 20 Desember 1968. Pemberkatan itu disertai dengan hiburan tarian anak – anak, diantaranya tari batik yang dibawakan oleh Christina Sri Purwati ( putri dari Bp. Surat ).
Gereja Mater Dei saat itu masih merupakan bagian dari Paroki St. Familia Atmodirono. Kemudian setelah Romo PC Judodihardjo, MSF diangkat menjadi Pastor Kepala di Lampersari, beliau menghendaki agar Paroki Mater Dei terpisah dari Paroki St. Familia Atmodirono.
Pembangunan Pastoran
Sebagai rumah Pastoran, mula – mula disewa kontrak rumah dengan Bapak Soejatno yang terletak di jalan Lampersari no. 46 selama 3 tahun terhitung sejak 24 Maret 1969 sampai dengan 23 Maret 1972. Baru 2 tahun kemudian mulai didirikan rumah pastoran. Tepat pada tanggal 1 Mei 1971, dilaksanakan peletakan batu pertama oleh Romo H. V. Voorts, SJ selaku Sekretaris Ekonom Keuskupan Agung Semarang yang dihadiri oleh Romo Provincial MSF yaitu Romo A. de Koning, MSF dan Romo Ekonom MSF yaitu Romo Sanders, Romo A. Verlaan Jr., MSF ( selaku Pastor Kepala Mater Dei Lampersari pengganti Romo PC Judodihardjo, MSF ), beserta wakil umat dan wakil kepala desa lamperkidul. Pembangunan ini diserahkan kepada Bp. P. Soenardjo. Bangunan Pastoran ini selesai dibangun dan diserahkan pada tanggal 3 Agustus 1971.
Kemudian bangunan pastoran ini sempat diperbaiki sebanyak 2 kali ( pada saat Romo Th. Widagdo menjabat ), dan akhirnya dirobohkan sama sekali karena kondisinya sudah sangat parah. Hal ini dikarenakan pada waktu pembangunannya tidak diadakan pemeriksaan kualitas tanah. Selama pembangunan pastoran yang baru dikerjakan pada tahun 1980an, maka sejak 1 September 1980 dengan Pastor Kepala Romo J. Harsasoesanto, Pr. rumah pastoran dialihkan ke jalan Lampersari no. 73 dengan sewa kontrak dari Ibu Dulkahar selama 1 tahun.
Kondisi Umat Di Awal Gereja Mater Dei Berdiri
Dahulu memang dengan adanya Paroki Mater Dei – Lampersari yang baru ini sangatlah sederhana dan kecil. Jumlah umat pada saat itu hanya sekitar 1000 – 1300 orang. Belum ada hiasan atau dekorasi untuk misa pada waktu itu. Yang ada hanya beberapa tempat duduk berupa kursi kayu panjang ( dingklik ) untuk tempat duduk umat. Gambar Jalan Salib juga belum ada. Sehingga beberapa umat seperti Bpk. Gunarto menyediakan gambar, piguranya dari Bpk. Surat, kacanya dari Bpk. Hartono. Sedangkan perangkat sound system juga masih belum ada.
Dewan Paroki yang ada pada saat itu juga masih sederhana bentuk organisasinya, yaitu :
1. Ketua : Pastor Kepala
2. Koordinator 1 dan 2
3. Penulis / Sekretaris
4. Bendahara
5. Sie Sosial
6. Sie Pembinaan Wilayah
7. Sie Liturgie
8. Sie Kematian
9. Sie Mass Media
10. Sub Seksi – Seksi
11. Panitia – Panitia Ad Hoc
Paguyuban yang saat juga sudah mulai berjalan antara lain kepemudaan, Wanita Katolik, ME (Marriage Encounter) dan Legio Maria.
Lingkungan / Kring yang ada waktu itu sekitar 7, yaitu :
1. Lingkungan Nangka : Bpk. Gunarto
2. Lingkungan Mangga : Bpk. Hartono ( Portuna )
3. Lingkungan Cinde : Bpk. Y. Soerat
4. Lingkungan Durian : Bpk. A. Sudarsono
5. Lingkungan Lamper Tengah : Bpk. Basuki
6. Lingkungan Peterongan : Bpk. Thomas Gleko
7. Lingkungan Jeruk : Bpk. Paiman
Perluasan Gereja dan Area Pendukungnya
Sejak tahun – tahun pertama Romo Widagdo menjabat sebagai Romo Paroki, bangunan gereja sudah harus diperluas, hal tersebut dilaksanakan atas meningkatnya jumlah umat yang pada tahun 1972 hanya berjumlah 1200 jiwa menjadi 2000 jiwa lebih pada tahun 1983. Adapun pembangunan perbaikan maupun tambahan yang terus dilaksanakan adalah :
1. Pembangunan gedung Gereja : Rm. A. de Koning, MSF
2. Pembangunan Pastoran : Rm. A. Verlaan Jr., MSF
3. Perluasan memperpanjang bangunan gereja (Panti Imam dan tempat Koor): Rm. Th. Widagdo, MSF
4. Perbaikan Pastoran : Rm. Th. Widagdo, MSF
5. Pembangunan kembali Pastoran : Rm. Harsasusanto, Pr.
6. Memperindah Panti Imam : Rm. H. Djajapoetranta, MSF
7. Mengganti Plafon seluruh bangunan gereja : idem
8. Pemasangan keramik pada dinding gereja : idem
9. Pemasangan kaca pada lubang udara / sinar di atas : idem
10. Pemasangan glass in lood di Panti Imam : idem
11. Keramik lantai : idem
12. Tambahan tenaga listrik : idem
13. Paving seluruh halaman : idem
14. Pembangunan rumah koster : idem
15. Pembangunan / ijin poliklinik : idem ( 1989 )
16. Pagar muka : idem
17. Pembangunan Kapel Stasi Sambiroto di atas tanah pemberian keluarga Sik Hoe : idem (atas ijin Romo Sunaryo tahun 1993–1994 ).
Serba – Serbi Paroki Mater Dei
Kolese Xaverius Muntilan
Dalam suatu kutipan buku “SOEGIJA, Si Anak Betlehem van Java” karangan Romo G. Budi Subanar, SJ di halaman 30 berisi antara lain : Kolese Xaverius Muntilan yang didirikan oleh Romo Van Lith sungguh – sungguh merupakan sekolah rintisan. Guru dan murid awalnya adalah mantan siswa dari sekolah yang ada di Lampersari, Semarang. Bahkan kayu – kayu dan bahan bangunan lain dari Sekolah Lampersari pun diangkut ke Muntilan dan digunakan untuk menambah gedung baru kompleks persekolahan di Muntilan.
SD Andreas:
Tempat Mendidik dan Melayani
Pada than 1949 Bapak Andreas Sudarsono menjadi kepala sekolah SD Kobong .. Kemudian menjadi SD Kura lalu menjadi SD Andreas Th. 1957. Pada waktu itu ada di Pandean Lamper (Brigjen Katamso No. 49) dan buka sore hari. SD Antonius dibuka untuk putri dan Tarsisius untuk Putra. Semuanya itu ada di bawah naungan Yayasan Kanisius.
Pada tahun 1957 berdiri sekolah SD Keluarga di wilayah tandang, yang juga dibawah naungan Yayasan Kanisius. SD Keluarga inilah yang menjadi cikal bakal perkembangan umat Gereja Mater Dei. Meskipun pada waktu itu gedung SD Keluarga masih harus menyewa dari rumah bapak Jaiman yang non Katolik, hal ini tidak menjadi halangan bagi Bapak Darsono beserta kawan - kawannya yang pada waktu sebagai salah satu hamba Kristus yang beragama Katolik untuk mengembangkan SD tersebut, sebagai sekolah Katolik pertama yang ada di lingkungan Stasi Paroki Atmodirono di daerah Semarang bagian timur.
Melalui SD inilah Tuhan Yesus Kristus berkarya atas diri umatnya dengan perantara tangan-tangan hamba-Nya, terutama Bapak Darsono sebagai salah satu tokoh Katolik yang juga berprofesi sebagai guru, sekaligus sebagai pelayan Tuhan. Karena melalui karya beliau beserta ternan - ternan, rnulailah muncul babtisan - babtisan baru yang berasal dari murid - murid SD tempat beliau mengajar. Bukan karena suatu paksaan, melainkan karena suatu tindakan yang lebih nyata dari Beliau sebagai umat Katolik, sehingga dengan keikhlasan hati merekalah untuk mau mengimani Yesus Kristus mereka dibabtis dalam nama Bapa, Putra dan Kudus. Babtisan - batisan baru tersebut langsung dilakukan oleh imam-imam yang berkarya di Paroki Atmodirono.
Berkat rahmat Tuhan Yesus, Bapak Darsono yang juga sebagai tokoh masyarakat pada waktu itu, mendapat kepercayaan dari Yayasan Chi Lam Cai yang memiliki hak milik atas tanah yang berada di jalan Tentara Pelajar (Mrican) pada saat ini dan juga sebagai tanah yang nantinya akan berdiri SD Andreas sekarang ini; untuk mengurus tanah tersebut. Maka atas kepercayaan yang diberikan untuk mengurus tanah tersebut, Bapak Darsono beserta kawan - kawan dan juga atas prakarsa Romo A. Verlaan Jr, MSF, pada tahun 1960 didirikanlah SD Andreas sebagai sekolah Katolik yang langsung dibawah naungan Yayasan Andreas itu sendiri. Sedangkan SD Andreas yang semula berada di Jalan Brigjen Katamso berpindah, dan hingga saat ini tempat tersebut menjadi sekolah Katolik Tarsisius. Yayasan Andreas secara resmi berdiri tahun 1970 dan pada saat itu juga yayasan Andreas mendirikan SMP Agustinus. Kemudian perkembangan lebih lanjut hingga tahun 1988 resmimenjadi Yayasan Andreas, dan ketika hak konvensi 75 Yayasan Chi Lam Cai atas tanah tersebut habis, maka atas rahmat Tuhan juga, Bapak Darsono dengan atas nama Yayasan Andreas mencoba untuk mengurus hak kepemilikan clan hak atas guna bangunan (HGB) tanah tersebut menjadi milik Yayasan Andreas, dan ternyata usaha tersebut tidaklah sulit, karena dalam waktu yang singkat (+ 1 minggu) hak tersebut dapat keluar dan diberikan kepada Yayasan Andreas oleh pemerintah.
Maka ada 2 (dua) sekolah Katolik yang berdiri di wilayah tempat di mana Paroki Lampersari nantinya berdiri. Dengan pertimbangan atas adanya dua sekolah Katolik tersebut, dan juga atas perkembangan umat Katolik disekitar wilayah tersebut maka Paroki Atmodirono membentuk Stasi Mater Dei.
Perkembangan lebih lanjut SD Andreas, yang juga menjadi pendukung dari berdirinya Paroki Lampersari Gereja Mater Dei hingga saat ini, tidak terlepas dengan karya - karya, maupun kegiatan-kegiatan gereja yang juga diadakan di bangunan SD tersebut. Karena ketika perkembangan Gereja Mater Dei belum sepesat ini, SD Andreas juga digunakan oleh Paroki Mater Dei sebagai tempat pelajaran sekolah Minggu, baik itu dari pelajaran babtis, komuni pertama, dan krisma. SD Andreas pernah dijadwal untuk misa ekaristi 1 bulan sekali di Gereja Mater Dei. Selain SD Andreas menjadi salah satu tempat pendukung dalam perayaan Ekaristi, SD Andreas pernah dipilih sebagai tempat perarakan perayaan Ekaristi Minggu Palma dari SD Andreas menuju ke Gereja Mater Dei.
Pembangunan Gereja Mater Dei Sekarang
Dengan berjalannya waktu dan makin bertambahnya jumlah umat Paroki Mater Dei, mengakibatkan daya tampung gedung Gereja Mater Dei yang sekarang ini sudah tidak memadai lagi. Dan umat banyak yang menghadiri misa di luar gedung gereja yang tidak beratap. Disamping itu gedung gereja yang lama sudah tidak memenuhi syarat lagi dari beberapa segi, sehingga dipikirkanlah suatu tindakan untuk melakukan pembangunan baru sebuah gedung gereja Mater Dei.
Faktor – faktor yang tidak memenuhi syarat ini antara lain :
1. Dari segi arsitektur :
a. Tampak dan bentuk yang dipaksakan dari bekas konstruksi sebuah gedung beras, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai sebuah rumah ibadat yang baik.
b. Tata ruang yang jelek, dengan fasilitas untuk gereja yang tidak lengkap dan bertebaran (tidak menyatu).
c. Atap yang terbuat dari seng gelombang yang sangat berisik apabila turun hujan.
2. Dari segi struktur :
a. Penutup atap dari seng yang sudah sangat berkarat dan bocor pada waktu hujan.
b. Langit-langit (plafond) yang sudah tidak rata lagi karena konstruksi kayu penggantungnya yang sudah rusak.
c. Ada beberapa tiang baja penyangga yang sudah miring.
d. Terdapat dinding tembok dengan keretakan miring yang menunjukkan terjadinya penurunan bangunan yang tidak merata.
e. Sound system di dalam gereja yang sudah kurang baik.
3. Dari segi tata letak :
Letak gedung gereja dan bagian–bagiannya yang sekarang ini sangat tidak efisien, sehingga banyak bidang–bidang tanah yang tidak bermanfaat sama sekali. Hal ini mengakibatkan areal parkir menjadi sempit disamping tidak adanya tempat untuk sebuah gedung pertemuan paroki yang memadai. Pintuk masuk ke halaman gerejapun hanya satu dan letaknya tidak strategis, sehingga rawan terjadi kemacetan baik itu di halaman gereja sendiri maupun di jalan lampersari setiap saat selesai misa.
4. Dari segi lain
a. Karena semua sebab di atas, banyak umat paroki Mater Dei yang hampir tidak pernah menghadiri misa di gerejanya sendiri, melainkan di paroki – paroki lain.
b. Karena kurangnya fasilitas gedung, maka aktivitas umat paroki menjadi terhambat yang menyebabkan kegiatannya menjadi berkurang.
Oleh sebab itu dibentuklah susunan Kepanitiaan Pembangunan Gereja Mater Dei, yang mana kepanitiaan ini terbagi menjadi 2 periode. Periode pertama telah menyelesaikan gambar rencana gedung Gereja, pasturan, poliklinik dan ruang serba guna. Menyelesaikan perhitungan konstruksi bangunan Gereja, perijinan pembangunan dan sebagian konstruksi pembangunan pondasi gedung Gereja juga telah diselesaikan di periode ini. Direncanakan pula untuk memakai kerangka bangunan dari baja dan kolom-kolom beton dengan penutup atap dari genteng metal yang diperhitungkan jauh lebih ringan daripada genteng-genteng biasa. Periode kedua melanjutkan pelaksanaan pembangunan gedung Gereja serta menghimpun dana yang dibutuhkan selama proses pembangunan berlangsung. Dan pada akhirnya, kepanitiaan pada periode ke-2 ini diharapkan dapat menyelesaikan seluruh pekerjaan pembangunan Gereja.
Romo-romo yang Pernah Berkarya di Paroki Mater Dei :
1. Romo A. de Koning, MSF (pada waktu Mater Dei masih menjadi bagian dari Paroki Santa Familia di Atmodirono).
2. Romo P.C. Yudodihardjo, MSF : tahun 1969 – 21 Januari 1971
3. Romo Hadi Wiyono, Pr : tahun 1968 – 1968
4. Romo A. Verlaan Jr., MSF : 21 Januari 1971 – 21 Maret 1974
5. Romo Th. Widagdo, MSF : 21 Maret 1974 – 1 April 1980
6. Romo H. Djajapoetranta, MSF : 1 April 1980 – 1 Agustus 1980
7. Romo Yaso, MSF : tahun 1980
8. Romo J. Harsasusanta, Pr : 1 Agustus 1980 – 1 Agustus 1982
9. Romo H. Djajapoetranta, MSF : 1 Januari 1983 – 15 September 1993
10. Romo A. Hantoro, Pr : 15 September 1993 – 1 Agustus 1998
11. Romo G.A. Notobudyo, Pr : 15 September 1993 – 1 September 1995
12. Romo P. Irawan Setiaji, Pr : 1 September 1995 – 1997
13. Romo Y.S. Sunu Siswoyo, Pr : 1 Agustus 1998 – 15 Januari 2001
14. Romo Ag. Ariawan, Pr : 15 Januari 2001 – 1 Agustus 2006.
15. Romo Ant. Suparyono, Pr :
16. Romo G. Tulus Sudarto, Pr : per 24 Juli 2006 -- .........
17. Romo Ig. Suharyono, Pr : per 15 Januari 2008
Narasumber :
- Romo H. Djajapoetranta, MSF
- Bpk. Maryoto (Lingkungan Mangga)
- Bpk. Gunarto (pegawai Keuskupan bagian pertanahan)
- Bpk. Nardi (tinggal di Nangka tahun 1967)
- Bpk. Surat
- Bpk. Kartono
- Bpk. Wartomo
- Bpk. Soesanto
- Panitia Pembangunan Gereja Mater Dei
[1] Dalam bahasa alkitabiah, momen berahmat menunjuk kata khairos yang berarti saat-rahmat. Kata khairos dipakai untuk mengacu pada saat intervensi Allah dalam hidup manusia pada untaian waktu yang dijalaninya. Kata ini berbeda dengan khronos yang berarti untaian waktu saja (dari kata khronos kita mengenal kata kronologi, yaitu urutan kejadian satu dengan yang lain yang mengalir secara tetap dan teratur). Tidak setiap saat manusia dapat merasakan campur tangan kasih Allah. Hanya saat-saat tertentu sajalah uluran tangan Allah itu dapat dirasakan. Saat-saat rahmat itulah yang disebut khronos.
[2] Kata ‘eklesiogenesis’ berasal dari kata eklesio yang berarti gereja (bahasa latin adalah ecclesia) dan genesis yang berarti kelahiran atau bentukan. Pembicaraan tentang eklesiogenesis mengacu sekitar beberapa kelompok pertama ataupun komunitas paling awal dari suatu gereja. Istilah eklesiogenesis ini sejajar dengan kata etnogenesis kalau bahan kajiannya adalah suku ataupun kelompok minoritas awal di suatu tempat.
[3] Mulai 1 Januari 2007, jumlah lingkungan di wilayah Mater Dei adalah 15; sementara stasi Sambiroto menjadi 18 lingkungan. Berarti ada tiga lingkungan baru yang merupakan hasil pemekaran.
[4] Masing-masing jumlah KK di Mater Dei adalah sebagai berikut: Lamper Tengah 1 (95 KK), Lamper Tengah 2 (65), Cinde (54), Jomblang (49), Mangga (46), Blimbing-Peterongan (36), Jeruk-Rambutan (30), Manggis (65), Lamper Krajan (25), Durian (45), Nangka (56), Getas (55), Kinibalu (68), Rogojembangan (45), dan Karanggawang (53). Sementara di stasi Sambiroto sebagai berikut: lingkungan Sambiroto (63), Mangunharjo (127), Bukit Kencana Jaya 1 (75), Bukit Kencana Jaya 2 (30), Kinijaya (51), Ketileng 1 (46), Ketileng 2 (59), Sinar Waluyo 1 (80), Sinar Waluyo 2 (36), Wanamukti (49), Tulus Harapan (27), Klipang 1 (52), Klipang 2 (37), Klipang 3 (59), dan Sendang Mulyo (52).
[5] Hingga sekarang, kebijakan perkotaan (melalui perangkat kelurahan Lamper Kidul) menuntut agar di depan gereja tidak dibangun jembatan kecuali untuk jalan masuk ke areal gereja. Sungai yang berada di depan gereja tidak boleh ditutupi supaya tidak memberi kesempatan untuk pendirian bangunan dan dijadikan tempat berdagang (Pedagang Kaki Lima).
syalom.. senang sekali ada blog Gereja Paroki saya..
BalasHapusapakah bisa diupdate rutin?
berkah dalem..