
SEMARANG & SEKITARNYA
Sudut Pandang
Tiga Salib Besar Membelenggu
Tiga Salib Besar Membelenggu
PASKAH merupakan perayaan kenangan kebangkitan Yesus. Karena lewat penderitaanNya, manusia diselamatkan. Itulah inti iman kristiani dalam bahasa lain The Crucified God (Allah yang tersalibkan).
Salib mempunyai dua sisi dimana di satu sisi adalah perendahan, disisi lain adalah peninggian atau kemuliaan.
Bagi umat kristiani, salib merupakan sumber keselamatan. Allah yang tersalibkan sungguh Via Crucis, jalan salib, jalan kebenaran, dan jalan iman menuju keselamatan. Lewat salib, dosa manusia ditebus.
’’Inilah intisari dari kebangkitan dimana gereja dibangun dari peristiwa paskah. Kebangkitan Yesus ini merupakan awal dibangunnya gereja. Bukan dari peristiwa lain atau karya apapun,’’ kata Romo G Tulus Sudarto Pr di Gereja Paroki Materdei Lampersari Semarang, Jumat (10/4) .
Dengan menarik mundur dan mempelajari siapakah Yesus lewat karya-karya dan sabda-Nya, ke-Allah-annya ditemukan. Karenanya kebangkitanNya merupakan sumber iman bagi umat kristiani.
Kebangkitan Yesus dulunya merupakan warta gembira yang menggerakkan orang dan menyatukan orang-orang.
Kabar kebangkitan itu mampu menyatukan murid-murid Yesus yang tercerai berai.
’’Itulah momen paskah dimana gereja dibangun dari paskah, sehingga ada istilah gereja adalah gereja paskah atau gereja kebangkitan Yesus. Sedangkan momen natal merupakan peristiwa iman kemudian yang muncul setelah para murid semakin solid di dalam mewartakan kebangkitan Yesus,’’ lanjut Romo Tulus.
Terbelenggu
Melihat kondisi bangsa yang terbelenggu masalah korupsi, kekerasan, dan lingkungan hidup yang rusak, merupakan gambaran dari The Crucified Indonesia (Indonesia yang tersalib). Tiga masalah itu menjadi salib besar bagi negeri ini.
Salib korupsi dimana Indonesia menempati rangking 5 dari 146 negara di dunia dan di rangking 3 dari seluruh negara Asia Tenggara. Hal itu membuat Indonesia terus berkubang dan sulit untuk bergerak menuju kebebasan.
Salib kekerasan juga terlihat jelas dari kohesifitas masyarakat Indonesia yang semakin kendor. Dimana masyarakat begitu mudah terpantik emosinya dengan sentimen apapun. Hal itu menunjukkan bahwa di masyarakat ada banalitas kekerasan.
’’Saking biasanya, hati nurani manusia tidak tergerak lagi bila melihat kekerasan. O...ada kekerasan to, biasa saja. Itulah indikator banalitas kekerasan yang sudah mencapai tingkat masif sehingga seolah-olah tidak ada ruang hati nurani yang menolak hal itu,’’ ungkap Romo.
Begitu pun dengan salib lingkungan hidup. Dimana banyak lingkungan yang telah rusak yang mengancam ekosistem karena kesalahan manajemen pada dunia. (Leonardo Agung B-18)